Menjunjungtinggi nilai kemanusiaan. Berani dalam membela kebenaran serta keadilan. Nilai-nilai pada sila ke-2 ini mendapat penjabaran didalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 di atas, antara lain dalam Pasal 5 ayat (1) - (3); Pasal 6 ayat (1 dan 2) dan Pasal 7 ayat (1 dan 2).
Indonesia as a state of law, has written and unwritten rules as an abstract form of legal protection for the community, while concrete legal protection, one of which, is protected from the target of crime and from the potential of becoming a criminal. One important and fundamental aspect of this problem lies in the process of transforming the noble values of law through a legal education. Here the model used in legal education largely determines the realization of legal awareness. This article tries to give a little description of the relationship between them qualitatively, especially on the basis of the fact that legal education is the most rational method for shaping students legal awareness. The relationship between the variables of legal education and the variable of legal awareness of students is very significant. The object of legal education must reach school students. Legal education is not the only indicator of student legal awareness, but it is qualitatively clear that with the earlier, frequent and increasingly broad range of legal education activities carried out by professional communicators, accompanied by increasingly sophisticated, simple, smart, standard communication techniques safe, real, quick, practical, effective, imaginative fun, award, problem solving oriented, with gender perspective, prioritize the best interests of students, and provide space to appreciate students is believed that legal education will have a greater impact on the formation of student legal awareness. Keywords Model, Education, Law, Awareness, Students. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 19 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 MODEL PENDIDIKAN HUKUM DALAM UPAYA MEWUJUDKAN KESADARAN HUKUM SISWA SEJAK DINI Gialdah Tapiansari Batubara* Fakultas Hukum Universitas Pasundan UNPAS, Jl. Lengkong Besar No. 68 Bandung, Email Firdaus Arifin Fakultas Hukum Universitas Pasundan UNPAS, Jl. Lengkong Besar No. 68 Bandung, Email ABSTRAK Indonesia sebagai negara hukum, telah memiliki aturan tertulis maupun tidak tertulis sebagai bentuk perlindungan hukum secara abstrak bagi masyarakat, sedangkan perlindungan hukum secara konkrit salah satunya terlindungi dari sasaran kejahatan maupun dari potensi menjadi pelaku kejahatan. Salah satu aspek penting dan mendasar dari persoalan ini terletak pada proses transformasi nilai-nilai luhur hukum melalui suatu pendidikan hukum. Di sini model, pola metode yang digunakan dalam pendidikan hukum sangat menentukan terwujudnya kesadaran hukum. Artikel ini berusaha memberikan sedikit gambaran hubungan keduanya secara kualitatif, terutama atas dasar kenyataan bahwa pendidikan hukum adalah metode yang paling rasional untuk membentuk kesadaran hukum siswa. Hubungan antara variabel pendidikan hukum dan variabel kesadaran hukum siswa sangat signifikan. Sasaran objek pendidikan hukum harus menjangkau siswa sekolah. Pendidikan hukum memang bukan merupakan satu-satunya indikator kesadaran hukum siswa, tetapi secara kualitatif jelas bahwa dengan semakin dini, sering dan semakin luasnya jangkauan kegiatan pendidikan hukum serta dikerjakan oleh para komunikator profesional, disertai kualitas teknik berkomunikasi yang semakin canggih, simple, smart, standard, safe, real, quick, practical, effective, imajinative fun, award, problem solving oriented, berperspektikan gender, mengedepankan kepentingan yang terbaik siswa, dan memberikan ruang gerak mengapresiasikan hak-hak siswa, maka diyakini pendidikan hukum akan lebih berdampak besar untuk terbentuknya kesadaran hukum siswa. Kata Kunci Model, Pendidikan, Hukum, Kesadaran, Siswa. Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 20 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 ABSTRACT Indonesia as a state of law, has written and unwritten rules as an abstract form of legal protection for the community, while concrete legal protection, one of which, is protected from the target of crime and from the potential of becoming a criminal. One important and fundamental aspect of this problem lies in the process of transforming the noble values of law through a legal education. Here the model used in legal education largely determines the realization of legal awareness. This article tries to give a little description of the relationship between them qualitatively, especially on the basis of the fact that legal education is the most rational method for shaping students legal awareness. The relationship between the variables of legal education and the variable of legal awareness of students is very significant. The object of legal education must reach school students. Legal education is not the only indicator of student legal awareness, but it is qualitatively clear that with the earlier, frequent and increasingly broad range of legal education activities carried out by professional communicators, accompanied by increasingly sophisticated, simple, smart, standard communication techniques safe, real, quick, practical, effective, imaginative fun, award, problem solving oriented, with gender perspective, prioritize the best interests of students, and provide space to appreciate students is believed that legal education will have a greater impact on the formation of student legal awareness. Keywords Model, Education, Law, Awareness, Students. Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 21 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 I. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara hukum Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, telah memiliki aturan-aturan yang mengatur pola-pola hubungan dalam kehidupan masyarakat. Aturan tersebut baik yang tertulis maupun yang tidak, dengan segala konsekuensi dan kompleksitasnya merupakan sebuah kebutuhan penting bagi bangsa Indonesia, sekaligus sebagai wujud perlindungan hukum yang diberikan bangsa terhadap warga negaranya, perlindungan hukum yang diberikan dalam konteks ini tak terkecuali perlindungan hukum terhadap siswa sekolah. Perlindungan hukum terhadap siswa sekolah salah satu bentuknya adalah melalui pemberian pemahaman hukum. Terhadap pemahaman hukum, terdapat tiga perspektif mengenai pemahaman tentang hakikat dari hukum, salah satunya, hukum dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu Rahardjo, 2006. Artinya hukum bukan hanya sekedar rangkaian kalimat yang berisi norma semata tetapi juga mengandung nilai-nilai moral kemanusiaan dan keadilan dari dan bagi sebuah bangsa. Apapun hukum yang berlaku baik di dalam sebuah kelompok, masyarakat maupun negara, pematangan dan pemahaman hukum serta nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam hukum nilai moral dan keadilan tetap perlu dilakukan secara berkelanjutan, sehingga pada akhirnya yang diharapkan dapat mampu untuk diimplementasikan di dalam kehidupan sehari-hari secara baik dan maksimal, sebagai wujud perlindungan hukum tersebut. Mewujudkan nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam hukum selayaknya merupakan usaha bersama semua pihak baik oleh para penegak hukum, lembaga tinggi hukum, institusi pendidikan hukum dan masyarakat. Karena merealisasikan nilai moral dan keadilan yang hakiki merupakan tanggung jawab bersama semua pihak untuk menciptakan tatanan masyarakat dan bangsa yang menjunjung tinggi hukum, yang sekaligus juga merupakan perlindungan hukum. Karenanya diperlukan kesadaran dari berbagai pihak seperti pemerintah, lembaga-lembaga hukum dan institusi pendidikan serta masyarakat untuk sama-sama membangun dan mewujudkan perlindungan hukum tersebut. Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 22 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 Faktanya, masih ada masyarakat Indonesia yang belum mendapatkan haknya berupa perlindungan hukum, baik itu terlindungi dari sasaran kejahatan maupun terlindungi dari potensi menjadi pelaku kejahatan, salah satunya adalah siswa sekolah, karena siswa sekolah berpotensi besar menjadi korban kejahatan dan berpotensi pula berhadapan dengan hukum. Persoalan-persoalan hukum yang terjadi di dalam mapun di luar lingkungan sekolah yang dilakukan oleh siswa sekolah saat ini telah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan dengan munculnya berbagai persoalan tauran pelajar, geng motor, pencabulan, pemerkosaan, pengguguran kandungan, pembunuhan, penggunaan narkotika, pembangkangan terhadap tata tertib sekolah, memuku guru dan lain-lain sebagainya. Persoalan-persoalan hukum ini merupakan salah satu persoalan yang sangat penting dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Hal ini tentu berkaitan langsung dengan realitas dan budaya masyarakat. Salah satu aspek penting dan mendasar dari persoalan tersebut adalah terletak pada proses transformasi nilai-nilai luhur hukum dalam suatu pendidikan hukum, karena pendidikan hukum sangat berpengaruh besar terhadap nalar pembentukan budaya hukum masyarakat. Pendidikan hukum akan mengarahkan pesertanya untuk tidak terpaku pada aturan legalistik semata, namun juga mengarahkan peserta pada pemahaman hukum secara mendalam. Pendidikan hukum merupakan aspek utama dalam merespon perkembangan zaman. Pendidikan hukum di masa yang akan datang juga akan mampu mengemban suatu misi baru yang sekalipun lain namun tak kalah pentingnya, yaitu menghasilkan masyarakat sipil yang tahu bagaimana mengadvokasi kepentingan sesamanya, mampu bertindak dalam koridor hukum, dan mampu menjadi pengawal hukum. Karenanya pemberian pemahaman terhadap hukum melalui pendidikan hukum perlu dilakukan sejak dini, salah satu diantaranya terhadap siswa sekolah. Pendidikan hukum bukanlah sebuah diksi yang peruntukannya hanya untuk jenjang universitas, pendidikan hukum merupakan sebuah diksi yang harus ada dalam setiap jenjang pendidikan, Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 23 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 di semua lapisan ekonomi masyarakat, dan di semua bidang kehidupan yang ada di dalam masyarakat. Dampak besar peranan pendidikan hukum salah satunya adalah pada pengaruhnya terhadap masyarakat. Dalam konteks masyarakat Indonesia, hukumlah yang harus membentuk kebiasaan dalam sebuah masyarakat, karenanya pembangunan hukum melalui pendidikan hukum harus mendahului pelaksanaan pembangunan di bidang lain. Pendidikan merupakan proses membimbing dan melatih, dan memandu manusia keluar dari kebodohan dan pembodohan. Dengan demikian pendidikan hukum merupakan proses membimbing, melatih dan memandu manusia keluar dari kebodohan dan pembodohan terhadap hukum. Pendidikan hukum dalam sistem sosial yang demokratik yang ditopang oleh prinsip supremasi hukum, tidak ada yang meragukan bahwa pendidikan hukum merupakan sumber pembangunan dan penegakkan hukum. Dengan pendidikan hukum masyarakat akan diajak terbiasa bertindak dalam koridor hukum sehingga dapat mewujudkan kesadaran hukum. Siswa sekolah pada dasarnya mayoritas berusia anak-anak dan pendidikan hukum bukan hanya merupakan hak bagi mereka yang bersekolah di sebuah fakultas hukum pada perguruan tinggi, tetapi juga merupakan hak masyarakat luas maka termasuk di dalamnya adalah siswa sekolah. Terhadap siswa sekolah dengan usia yang umumnya masih masuk ke dalam kelompok anak harus menjadi prioritas pendidikan hukum. Pemilihan tehadap usia anak, karena anak yang lahir ke dunia, ibarat kertas putih yang kosong belum ditulisi, kertas tersebut akan terisi dengan tulisan berwarna apa adalah tergantung dari tinta pulpen yang digunakan di atas kertas tersebut. Tulisan yang terisi dalam kertas dalam kehidupan nyata merupakan ide-ide atau pengertian-pengertian yang diperoleh anak baik karena pengaruh dari luar melalui proses pengalaman empiri yang ditangkap oleh indera atau pengaruh dari dalam yang merupakan pengolahan hasil kesan indera, di dalam jiwa. Pendidikan Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 24 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 hukum di sini berusaha untuk masuk dalam proses pengalaman empiri yang ditangkap oleh indera dan proses pengolahan hasil kesan indera. Pendidikan hukum maka dari itu berusaha untuk memberikan sebuah pengalaman indrawi dan non indrawi kepada siswa terhadap hukum, pengalaman mana nantinya akan ditangkap oleh indra siswa dan diolah hasil kesan indra siswa terhadap pendidikan hukum di dalam jiwanya. Pendidikan hukum terhadap siswa seharusnya tidak berhenti sebagai pengetahuan tetapi menjadi watak atau kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari sehingga terwujudkan siswa sadar hukum yang mengenal hukum, memahami hukum, memiliki sikap yang tidak bertentangan dengan hukum atau setidaknya terjadi secara terus-menerus sebagaimana digambarkan dalam siklus berikut Gambar 1 Siklus Manfaat Pendidikan Hukum Respon terhadap Pendidikan Hukum Hukum sebagai sarana pembaharan masyarakat Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 25 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 Pendidikan hukum guna mewujudkan dampak atau manfaat besar yang dicita-citakan sebagaimana telah disampaikan di atas, maka perlu dilakukan dengan model, pola atau metode pendidikan hukum yang baik agar mampu menghasilkan siswa sadar hukum dan lingkungan sekolah yang sadar hukum, bagaimana model, pola atau metode tersebut, artikel ini akan menyoal model, pola atau metode pendidikan hukum dalam mewujudkan siswa sadar hukum. II. METODE PENELITIAN Dikarena kesadaran hukum siswa adalah nilai dan bersifat abstrak, dan secara logika tidak ada parameter yang pasti untuk mengukur hal-hal yang bersifat abstrak kecuali dengan gejala yang nampak dari akibat atau outcome maka walaupun ingin diketahui konstruksi model, pila atau metode pendidikan hukum hubungan antara variabel model, pola atau metode pendidikan hukum terhadap kesadaran hukum siswa, untuk itu digunakan metode penelitian yang bersifat diskriptif analitis. Di sini indikator dari masing-masing variabel diterangkan secara jelas berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan, melalui proses analisis kualitatif untuk kemudian hasilnya didiskripsikan secara jelas untuk menjawab pokok permasalahan. Aapun metode penelitian yang digunakan di sini adalah yuridis normatif dibantu dengan yuridis empiris. Adapun di sini digunakan pendekatan yuridis-dogmatis, dilengkapi dengan pendekatan konseptual, pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan perbandingan, dan pendekatan filosofis. Beberapa pendekatan ini digunakan secara bersama-sama dalam rangka membahas fokus masalah. Untuk menganalisa dan menemukan jawaban atas permasalahan digunakan 3 tiga jenis bahan hukum berdasarkan kekuatan mengikatnya yaitu bahan hukum primer/utama, sekunder/penjelas, dan tersier/petunjuk dan bahan non hukum Soekanto & Mamudji, 2018. Bahan hukum dan bahan non hukum tersebut diperoleh dengan studi pustaka. Adapun terhadap data primer digunakan studi lapangan dengan metode observasi. Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 26 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 Dengan lokasi penelitian di SMAN 1 Baleendah, SMAN 1 Dayeuhkolot, SMAN 1 Soreang dan SMAN 27 Bandung. Data data yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualiatif. III. HASIL PENELITIANAN DAN ANALISIS Istilah pendidikan berasal dari bahasa Latin educare’ yang dalam arti terkandung aspek memimpin atau memandu. Tujuan pendidikan memuat tentang nilai-nilai kebajikan, keluhur, kepantasan, kebenaran, dan keindahan bagi kehidupan. Mendengar istilah pendidikan sering diasumsikan sebagai lembaga sekolah atau perguruan tinggi, dimana terdapat peserta didik dan pengajar dalam suatu lembaga. Padahal pendidikan tidak terbatas pada yang disebutkan tersebut. Pendidikan merupakan sebuah proses dimana manusia akan mengembangkan potensi yang dimiliki untuk mengenal diri dan lingkungannya melalui proses belajar yang tidak terbatas pada ruang dan waktu. Pendidikan hukum bukan merupakan proses hapal menghapal. Pendidikan merupakan proses membimbing dan melatih, dan memandu manusia keluar dari kebodohan dan pembodohan Danim, 2010. Dengan demikian pendidikan hukum merupakan proses membimbing, melatih dan memandu manusia keluar dari kebodohan terhadap hukum. Dalam sistim sosial yang demokratik yang ditopang oleh sebuah prinsip utama yaitu supremasi hukum, tidak ada yang meragukan bahwa pendidikan hukum adalah sumber pembangunan dan penegakkan hukum. Dengan pendidikan hukum, masyarakat akan diajak terbiasa bertindak dalam koridor hukum sehingga dapat mewujudkan kesadaran hukum. Cicero mengatakan ubi sociatas ibi ius artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum Soepomo, 2007. Maka dimana ada masyarakat dilingkungan sekolah disitu ada hukum, baik yang dibuat oleh penguasa maupun yang dibuat oleh pihak sekolah, yang berlaku dan mengikat bagi siswa. Siswa sekolah yang secara faktual didominasi oleh usia yang secara hukum disebut belum dewasa anak-anak merupakan pribadi Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 27 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 yang masih sangat memerlukan pembinaan dan pemanduan, terutama pembinaan dan pemanduan di bidang hukum dalam bentuk pendidikan hukum, karena pada usia tersebut siswa sangat rentan menjadi korban dan pelaku pelanggaran hukum. Terhadap hal ini, Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar belum dapat berbuat banyak dalam mengatasi persoalan rentannya siswa anak sebagai korban dan pelaku kejahatan yang pada dasarnya di dalamnya mengandung masalah kemerosotan moral tersebut, maka dari itu di sinilah pendidikan hukum terhadap siswa sebagai gerakan sosial merupakan respons terhadap masalah ini. Pemilihan siswa sekolah yang mayoritas berusia anak-anak sebagai objek pendidikan hukum dikarenakan John Locke seorang filosof Inggris, pernah berpendapat bahwa anak yang lahir ke dunia, ibarat kertas putih yang kosong belum ditulisi. Hal ini terkenal dengan Teori “Tabularasa” a blank sheet of paper. Teori ini berpandangan manusia yang lahir merupakan anak yang suci seperti meja lilin tabularasa Sukardjo & Komarudin, 2012. Anak dengan jiwa yang kosong tersebut akan terisi pengetahuannya karena pengaruh dari luar salah satunya melalui proses pengalaman. John Locke berpendapat bahwa satu-satunya cara manusia memperoleh pengetahuan adalah melalui pengalaman atau penginderaan. Pandangannya ini terinspirasi oleh pemikiran Aristoteles, bahwa manusia identik dengan papan tulis kosong Danim, 2010. Aliran empirisme yang bertolak dari Lockean Tradition dimana aliran ini mementingkan stimulasi luar dalam perkembangan manusia, mengemukakan bahwa perkembangan anak tergantung pada faktor lingkungan. Pengalaman yang didapat anak dalam kehidupan sehari-hari dari dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk pendidikan Tirtarahardja & Sulo, 2008. Pada perkembangannya, anak juga sangat tergantung kepada asuhan dan pendidikan dari orang tua atau orang dewasa disekelilingnya. Semua anak lahir dalam keadaan sama. Perkembangan anak merupakan hasil belajar dan pengalaman. Faktor lingkungan dimana anak dibesarkan, bimbingan, kesempatan, dan fasilitas Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 28 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 belajar merupakan penentu anak menjadi lebih baik dari yang lainnya Wardani & Julaeha, 2008. Pengetahuan dan keterampilan manusia dibentuk oleh pengalaman inderawi dan perlakuan yang diterima oleh anak, sehingga anak laksana air, dapat dibentuk menjadi es seperti apa saja tergantung bagaimana bentuk dari wadah es tersebut. Pendidikan hukum berusaha untuk memberikan sebuah pengalaman kepada siswa terhadap hukum yang tentunya akan ditangkap oleh indra siswa dan pada akhirnya dari pendidikan hukum tersebut, siswa dapat mengolah hasil kesan indra terhadap pendidikan hukum di dalam jiwanya. Pendidikan semakin lama, semakin diperlukan. Di Indonesia Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah mengamanatkan untuk melakukan pendidikan hukum. Pancasila merupakan Ibu dari seluruh sumber hukum yang ada di Indonesia. Pancasila adalah landasan ideal secara filosofis memiliki nilai-nilai kultural sebagai wujud kepribadian Bangsa Indonesia yang perlu diaktualisasikan ke dalam bentuk perilaku masyarakat yang arahannya bisa membentuk masyarakat yang sadar terhadap hukum yang berlaku. UUD 1945 melalui penjelasannya menyebutkan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum rechstaat, tidak berdasar atas kekuasaan belaka machstaat. Pernyataan ini merupakan kesepakatan Bangsa Indonesia. Amanat tersebut menyiratkan pentingnya pendidikan hukum, karena melalui pendidikan hukum terdapat usaha agar hukum itu diketahui, dipahami, ditaati agar Negara Indonesia dapat menjadi negara yang berdasarkan atas hukum. Selain amanat di atas, terdapat juga salah satu pasal penting dalam batang tubuh yang berhubungannya dengan pendidikan hukum yaitu Pasal 27 ayat 1 bahwa Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Agar warga negara dapat menjujung hukum diperlukan adanya pendidikan hukum, karena dengan mengetahui, memahami dan mentaati hukum, warga negara dapat menjunjung hukum. Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan, pendidikanlah yang juga membedakan manusia dengan Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 29 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 mahluk hidup lainnya. Maka pendidikan hukum sejatinya merupakan subsistim dari sistim hukum sangat penting dan mendasar. Mochtar Kusumaatmadja menyebutkan bahwa fungsi hukum sebagai suatu sarana pembaharuan masyarakat Rasjidi, 2012. Maka melalui pendidikan hukum apa yang dikemukakan Mochtar Kusumaatmadja dapat dilakukan menuju suatu masyarakat atau negara hukum yang sadar hukum. Masyarakat yang sedang membangun berarti masyarakat yang sedang melakukan perubahan yang cepat, maka hukumpun harus lebih cepat merespon terhadap perubahan tersebut. Sebagai salah satu bentuk respon hukum terhadap hal tersebut maka pendidikan hukum merupakan salah satu solusinya. Hukum merupakan cerminan yang memantulkan kepentingan masyarakat, masyarakat begitu cepat berubah, maka hukumpun harus mengubah dirinya dari perkembangan repressif law menjadi preventif law kemudian rensponsif law. Karena hukum tidak semata-mata reaktif melainkan harus proaktif. Berdasarkan pemikiran tersebut dapat dikatakan, bahwa persoalan mempertahankan dan meningkatkan mutu hukum yang mampu menjangkau kebutuhan masyarakat, merupakan wujud karakteristik hukum yang bersifat responsif dan proaktif, maka dari itu pendidikan hukum merupakan suatu agenda yang yang tidak bisa ditawar lagi dan harus dilaksanakan. Ter Haar menyebutkan bahwa hukumlah yang membentuk kebiasaan yang berlaku pada masyarakat modern Kusumaatmadja, 2006. Hukum yang membentuk kebiasaan masyarakat merupakan perwujudan dari konsep law as a tool of social engineering. Intinya adalah keadaan masyarakat yang akan diubah, maka dalam implementasinya hendaknya dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian terhadap masyarakat. Dengan demikian fungsi hukum tidak hanya sekedar untuk menjaga keamanan dan ketertiban, akan tetapi juga untuk mempercepat proses pembaharuan masyarakat menuju masyarakat yang menjadi biasa dalam sadar hukum melalui pendidikan hukum. Maka wajar jika Barda Nawawi Arief memasukan pendidikan hukum sebagai salah satu komponen pembangunan hukum. Barda Nawawi Arief dalam pidato pengukuhan guru Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 30 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 besarnya mengemukakan bahwa ada satu komponen atau satu pilar lagi yang sepatutnya mendapat perhatian dalam upaya pembangunan dan pembaharuan hukum nasional, yaitu komponen pendidikan hukum Arief, 2007. Memasukan komponen tersebut sangat penting jika dihubungkan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang menyebutkan bahwa hukum adalah untuk manusia Rahardjo, 2007. Maka dari itu dalam rangka memanusiakan manusia dan menjalankan amanat humanitas Pancasila, maka perlu dilakukan pendidikan hukum. Menurut Jhering, manusia sengaja membuat hukum untuk mencapai sesuatu yang diinginkan Rahardjo, 2006. Salah satu yang diinginkan adalah kesadaran hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum dan kesadaran hukum memiliki keterkaitan yang erat Mertokusumo, 2008. Untuk mengembangkan kesadaran hukum pemahaman tentang hukum menjadi sangat penting. Barda Nawawi Arief dalam pidato pengukuhan guru besarnya mengemukakan bahwa Ismail Saleh mantan Menteri Kehakiman pernah mengemukakan 3 tiga komponen utama yang harus diperhatikan dalam melakukan pembangunan hukum nasional yaitu 1 komponen norma hukum dan perundang-undangan, 2 komponen aparat penegak hukum, dan 3 komponen kesadaran hukum masyarakat. Bahkan ditegaskan oleh Ismail Saleh bahwa komponen-komponen tersebut merupakan pilar-pilar dari Kerangka Landasan Pembangunan di bidang hukum yang memberikan bentuk dan isi daripada hukum di negara Indonesia Arief, 2007. Komponen kesadaran hukum merupakan komponen yang berkaitan dengan aspek perilaku. Donald Black dalam bukunya The Behavior of Law mengemukakan bahwa suatu perilaku hukum case memiliki struktur sosialnya sendiri. Black juga mengemukakan teori bahwa kehadiran hukum bervariasi di mana orang-orang itu berada. Oleh karena itu jika diharapkan perilaku hukum masyarakat yang baik, maka harus menciptakan struktur sosial masyarakat yang baik pula. Selama struktur sosial dalam masyarakat tidak berkembang ke arah susunan masyarakat yang baik maka selama itu juga perilaku hukum dalam masyarakat sulit untuk Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 31 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 mengarah kepada perilaku hukum yang baik. Asumsi ini jika kemudian dikembangkan lebih lanjut untuk menciptakan perilaku hukum yang baik baca kesadaran hukum maka struktur sosial yang mengitari tempat di mana hukum itu diberlakukan harus diperbaiki terlebih dahulu. Apa saja struktur sosial yang harus diperbaiki dikemukakan oleh M. Husni yaitu struktur ekonomi, politik, pendidikan, pertahanan keamanan, serta struktur-struktur lainnya yang terdapat dalam sistem sosial yang luas Husni, 2006. Pandangan ini menunjukan bahwa pendidikan merupakan salah satu struktur sosial yang dapat diperbaiki dalam rangkan menciptakan kesadaran hukum. Karena sebagaimana dijelaskan Ishaq bahwa kesadaran hukum yang rendah atau tinggi pada masyarakat mempengaruhi pelaksanaan hukum. Kesadaran hukum yang rendah akan menjadi kendala dalam pelaksanaan hukum, baik kendala berupa tingginya tingkat pelanggaran hukum maupun kendala berupa kurang berpartisipasinya masyarakat dalam pelaksanaan hukum Ishaq, 2012. Bangsa Indonesia pernah diingatkan oleh Soetandyo Wignjosoebroto untuk membangun kesadaran hukum hingga ke dalam masyarakat lapisan bawah karena pada masyarakat lapisan bawah inilah, dirasakan banyaknya ketidak adilan dalam hukum yang berlaku, yang akibatnya, masyarakat strata bawah akan lebih cenderung untuk menyelesaikan perkara-perkara lewat caranya sendiri dari pada cara-cara formal menurut prosedur hukum Wignjosoebroto, 2008. Begitu pentingnya kesadaran hukum dalam memperbaiki sistem hukum, maka tak heran di Indonesia Pancasila dijadikan sebagai landasan ideal tidak saja untuk mengakomodir pendidikan hukum tetapi Pancasila juga digunakan sebagai landasan ideal untuk mengakomodir kesadaran hukum di dalam pembangunan sistem dan politik hukum nasional. Secara tersirat pentingnya kesadaran hukum dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan yang telah mengamanatkan bahwa kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 32 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme Pasal 6 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kesadaran hukum juga mendapat tempat yang sangat penting di dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum. Pasal 1 Peraturan Menteri ini, menegaskan bahwa a. Penyuluhan Hukum adalah salah satu kegiatan penyebarluasan informasi dan pemahaman terhadap norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku guna mewujudkan dan mengembangkan kesadaran hukum masyarakat sehingga tercipta budaya hukum dalam bentuk tertib dan taat atau patuh terhadap norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku demi tegaknya supremasi hukum. b. Kesadaran Hukum Masyarakat adalah nilai yang hidup dalam masyarakat dalam bentuk pemahaman dan ketaatan atau kepatuhan masyarakat terhadap norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disebutkan juga bahwa penyuluhan hukum diselenggarakan dengan tujuan mewujudkan kesadaran hukum masyarakat yang lebih baik sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan mewujudkan budaya hukum dalam sikap dan perilaku yang sadar, patuh, dan taat terhadap hukum serta menghormati hak asasi manusia Pasal 2. Selain itu Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Tentang Pola Penyuluhan Hukum meyebutkan bahwa sasaran penyuluhan hukum meliputi seluruh Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 33 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 lapisan masyarakat Pasal 10. Bahkan pada konsideran menimbang Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Tentang Pola Penyuluhan Hukum meyebutkan a. bahwa dalam rangka mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat agar dapat tercipta kesadaran dan kepatuhan hukum demi tegaknya supremasi hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu dilakukan penyuluhan hukum secara nasional; b. bahwa agar pelaksanaan penyuluhan hukum secara nasional dapat berjalan secara tertib, terarah, dan terpadu, perlu didasarkan pada Pola Penyuluhan. Amanat tersebut ditujukan agar terjadi pembinaan hukum yang mampu mengerahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sekaligus meningkatkan kesadaran hukum rakyat, sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditunjukan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh. Bahkan jika melihat pendapat dari Endang Purwaningsih dkk bahwa rendahnya kesadaran hukum dapat disebabkan oleh kurangnya sosialisasi hukum, kurangnya akses masyarakat tentang informasi hukum dan budaya masyarakat itu sendiri, untuk itu diperlukan upaya untuk membuka wawasan pengetahuan hukum warga masyarakat agar lebih memahami hukum dan peningkatan kesadaran hukum Purwaningsih, Riza, & Chikmawati, 2014 maka hal ini semakin menegaskan bahwa langkah yang harus dilakukan dalam pembinaan hukum menuju sistem hukum nasional salah satunya adalah melakukan pendidikan hukum agar terwujud kesadaran hukum. Salah satu dari sekian banyak pemahaman yang penting dalam kehidupan adalah pemahaman hukum. Hukum akan mengajarkan bagaimana berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan bekerjasama. Kemampuan tersebut akan sangat diperlukan agar dapat memiliki kompetensi dalam memperoleh, Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 34 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 mengelola, dan memanfaatkan informasi sehingga mampu bertahan hidup pada situasi dan kondisi yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Berdasarkan beberapa ketentuan sebagaimana telah disebutkan di atas, maka secara yuridis kegiatan pendidikan hukum yang nota bene salah satu metodenya adalah melalui penyuluhan hukum telah diakomodir oleh negara sebagai salah satu wujud konkret tanggung jawab negara dalam melaksanakan kewenangannya untuk melakukan sosialisasi hukum dengan tujuan agar seluruh warga masyarakat tahu dan memahami hukum, yang dalam pelaksanaannya tentu harus tunduk dan berdasarkan kepada aturan yang menjadi sumber asas legalitasnya. Secara sosiologis pendidikan hukum merupakan salah satu upaya yang dalam pelaksanaannya harus mendapat dukungan dari seluruh masyarakat agar hukum dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga hukum dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa “tujuan utama penyuluhan hukum adalah, agar warga masyarakat memahami hukum yang berlaku, sehingga hukum tersebut melembaga dan bahkan menjiwai warga masyarakat bersangkutan.” Soerjono Soekanto, 1986 5. Dengan mengetahui dan memahami hukum, selanjutnya akan tumbuh menjadi menghargai hukum, sebagaimana juga dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa “berprosesnya tahap memahami hukum menjadi menghargai hukum adalah bila dalam proses memahami tersebut warga masyarakat menghayati tentang adanya manfaat hukum bagi kehidupan bersama di dalam masyarakat bersangkutan, dan hal ini bila warga masyarakat tersebut mengetahui tujuan dan tugas hukum yang sesungguhnya diperlukan bagi kepentingan umum” Soekanto, 1986. Mewujudkan adanya kesadaran hukum masyarakat, maka segi manfaat atau kegunaan hukum haruslah betul-betul dapat dipahami oleh setiap warga masyarakat. Tetapi kenyataanya sisi negatif dari hukum lebih sering dikedepankan dimana hukum cenderung diperkenalkan sebagai sesuatu yang menakutkan, sesuatu yang merepotkan, dan sesuatu yang hanya ideal dalam norma tapi tidak Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 35 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 dalam pelaksanaannya, keadaan ini harus diperbaiki dengan membuat suatu kondisi dimana masyarakat menjadi berpersepsi yang baik atau menguntungkan tentang hukum. Dengan kegiatan pendidikan hukum, akan dibangun opini masyarakat ke arah yang positif sehingga persepsi masyarakat yang negatif terhadap hukum diharapkan dapat berkurang. Bila kondisi ideal seperti ini terbentuk harapan selanjutnya adalah munculnya semangat yang membentuk pengakuan atas kemanfaatan hukum bagi kehidupan segenap warga masyarakat. Penghargaan, penilaian positif terhadap hukum dan kesadaran hukum, pembentukannya sangat dipengaruhi oleh fakta hukum yang membentuk opini dan persepsi masyarakat tentang hukum. Bagaimanapun kondisi yang ada, kegiatan pendidikan hukum harus menjadi sebuah kegiatan yang mampu untuk tetap membentuk opini baik tentang hukum di dalam masyarakat, dan bila kemampuan ini melemah yang terjadi adalah terbentuk persepsi negatif tentang hukum yang berakibat semakin jauhnya harapan pembentukan “kesadaran hukum masyarakat” dalam hal ini kesadaran hukum siswa. Kesadaran hukum siswa sebagai bagian dari kesadaran hukum masyarakat adalah luaran dari seluruh rangkaian proses kegiatan pendidikan hukum yang mencapai tingkat optimalisasi ideal yang ditandai dengan timbulnya rasa untuk menghargai hukum, maka secara hipotesis, hanya cara atau teknik pendidikan hukum yang komunikatiflah yang mampu menyentuh hati nurani warga masyarakat khususnya siswa, yang dapat efektif menimbulkan kesadaran hukum siswa. Artinya pendidikan hukum dengan model, pola atau metode yang tepat serta dilakukan secara berkelanjutan, menentukan progres capaian terwujudnya kesadaran hukum siswa. Pendidikan hukum berkaitan dengan asas fiksi hukum. Sedangkan fiksi hukum harus didukung dengan sosialisasi hukum pendidikan hukum. Fiksi hukum merupakan asas yang menganggap semua orang tahu hukum presumptio iures de iure tak terkecuali warga yang tinggal di pedalaman, dalam bahasa Latin hal ini dikenal dengan adagium ignorantia jurist non excusat. Ketidaktahuan hukum pada dasarnya tidak bisa dimaafkan. Seseorang tidak bisa mengelak dari jeratan Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 36 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 hukum dengan berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan tertentu. Karenanya fiksi hukum membawa konsekwensi bagi Pemerintah, yaitu wajib menyampaikan adanya hukum atau peraturan tertentu kepada masyarakat “Fiksi Hukum Harus Didukung Sosialisasi Hukum Penyuluhan hukum kepada masyarakat merupakan tanggung jawab setiap penyelenggara negara,” 2008. Melakukan pendidikan hukum, harus memperhatikan beberapa hal berikut Pasal 4 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusi Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum, menegaskan bahwa Materi hukum yang disuluhkan ditentukan berdasarkan hasil evaluasi, peta permasalahan hukum, kepentingan negara, dan kebutuhan masyarakat. Pasal 6 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusi Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum, menegaskan bahwa Materi Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat berbentuk a. naskah untuk ceramah, diskusi, simulasi, pentas panggung, dialog interaktif dan wawancara radio; b. skenario untuk sandiwara, sinetron, fragmen dan film; c. kalimat dan desain grafis untuk spanduk, poster, brosur, leaflet, filler, tellop, running text, booklet dan billboard; d. artikel untuk surat kabar dan majalah; e. permasalahan hukum yang secara spontan timbul dalam kegiatan Temu Sadar Hukum atau Lomba Kadarkum. Pasal 7 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusi Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum, menegaskan bahwa Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 37 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 a. Penyuluhan Hukum diselenggarakan dengan metode 1 Penyuluhan Hukum langsung; 2 Penyuluhan Hukum tidak langsung; b. Penyuluhan Hukum langsung dilakukan dengan cara bertahap muka secara langsung antara penyuluh dan yang disuluh. c. Penyuluhan Hukum tidak langsung merupakan Penyuluhan Hukum yang dilakukan melalui media elektronik dan media cetak. Pasal 9 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusi Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum, menegaskan bahwa Metode Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilaksanakan dengan pendekatan a. persuasif yakni penyuluh hukum dalam melaksanakan tugasnya harus mampu meyakinkan masyarakat yang disuluh, sehingga mereka merasa tertarik dan menaruh perhatian serta minat terhadap hal-hal yang disampaikan oleh penyuluh; b. edukatif yakni penyuluh hukum harus bersikap dan berperilaku sebagai pendidik yang dengan penuh kesabaran dan ketekunan membimbing masyarakat yang disuluh ke arah tujuan penyuluhan hukum; c. komunikatif yakni penyuluh hukum harus mampu berkomunikasi dan menciptakan iklim serta suasana sedemikian rupa sehingga tercipta suatu pembicaraan yang bersifat akrab, terbuka dan timbal balik; dan d. akomodatif yakni penyuluh hukum harus mampu mengakomodasikan menampung dan memberikan jalan pemecahannya dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang diajukan oleh masyarakat. Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 38 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 Pasal 14 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusi Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum, menegaskan bahwa a. Penyuluhan Hukum Langsung dapat diselenggarakan dalam bentuk 1 ceramah; 2 diskusi; 3 temu sadar hukum; 4 pameran; 5 simulasi; 6 lomba kadarkum; 7 konsultasi hukum; 8 bantuan hukum; dan/atau 9 dalam bentuk lain. b. Penyuluhan Hukum tidak langsung dapat diselenggarakan dalam bentuk 1 dialog interaktif; 2 wawancara radio; 3 pentas panggung; 4 sandiwara; 5 sinetron; 6 fragmen; 7 film; 8 spanduk; 9 poster; 10 brosur; 11 leaflet; 12 booklet; 13 billboard; 14 surat kabar; 15 majalah; 16 running text; 17 filler; dan/atau 18 dalam bentuk lain. Pasal 15 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusi Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum, menegaskan bahwa Penyuluhan Hukum dalam bentuk ceramah diselenggarakan untuk memberikan penjelasan tentang materi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Pasal 16 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusi Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum, menegaskan bahwa a. Penyuluhan Hukum dalam bentuk diskusi diselenggarakan untuk pendalaman materi hukum tertentu yang disuluhkan. b. Dalam diskusi yang bertindak sebagai panelis adalah tenaga ahli sesuai dengan bidangnya. Pasal 17 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusi Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum, menegaskan bahwa Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 39 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 a. Penyuluhan Hukum dalam bentuk Temu Sadar Hukum diselenggarakan untuk membina Kadarkum, Kadarkum Binaan, Desa Binaan atau Kelurahan Binaan, Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum, dan kelompok masyarakat lainnya; b. Temu Sadar yang Hukum diselenggarakan di tempat terbuka untuk umum. c. Dalam pelaksanaan Temu Sadar Hukum harus ada narasumber dan pemandu. Pasal 18 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusi Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum, menegaskan bahwa Penyuluhan Hukum dalam bentuk simulasi diselenggarakan untuk membina Kadarkum, Kadarkum Binaan, Desa Sadar Hukum, Kelurahan Sadar Hukum dan kelompok masyarakat lainnya melalui kegiatan yang menggunakan alat peraga. Pasal 19 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusi Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum, menegaskan bahwa Penyuluhan hukum dalam dalam bentuk pameran diselenggarakan untuk memamerkan hasil kegiatan penyuluhan hukum dan pameran mempromosikan instansi yang melakukan penyuluhan hukum, baik melalui panel, foto, grafik, buku, leaflet, brosur, booklet, maupun audio-visual. Pasal 20 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusi Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum, menegaskan bahwa a. Penyuluhan Hukum dalam bentuk Lomba Kadarkum diselenggarakan untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan Penyuluhan Hukum yang telah dilaksanakan. b. Lomba Kadarkum diselenggarakan di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, pusat, dan/atau di tingkat nasional. Pasal 23 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusi Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum, menegaskan bahwa Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 40 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 a. Penyuluhan Hukum dalam bentuk konsultasi dan bantuan hukum diberikan kepada anggota masyarakat yang membutuhkan untuk permasalahan hukum yang dihadapi. b. Konsultasi dan bantuan hukum diberikan tanpa dipungut biaya. Pasal 28 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusi Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum, menegaskan bahwa Penyuluhan Hukum yang dilakukan melalui media elektronik dapat dilaksanakan bekerja sama dengan stasiun televisi, radio, penyedia layanan internet, dan/atau media elektronik lainnya. Pasal 29 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusi Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum, menegaskan bahwa Penyuluhan Hukum yang dilakukan melalui media cetak dapat dilaksanakan bekerja sama dengan perusahaan di bidang media cetak. Pendidikan hukum memiliki korelasi dengan persoalan pengetahuan, karena hakikatnya sebuah pendidikan hukum merupakan sebuah proses transfer pengetahuan. Ausubel menyatakan bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki peserta didik akan sangat menentukan bermakna tidaknya suatu proses pembelajaran. Itulah sebabnya pendidik harus mengecek, memperbaiki dan menyempurnakan pengetahuan peserta didik sebelum membahas materi baru. Pemahaman konsep merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran hukum pada pendidikan hukum. Adapun menurut Anderson et al definisi pemahaman mencakup tujuh jenis yaitu Kurniasi, 2016 a. Interpreting menginterpretasikan terjadi ketika siswa mampu mengkonversi informasi dari satu representasi ke representasi yang lain. Interpretasi meliputi konversi kata-kata ke dalam kata-kata, gambar ke dalam kata-kata. Nama lainnya adalah translating, paraphrasing, representing, clarifying. Contohnya siswa mampu mengubah soal cerita ke dalam bentuk simbol. Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 41 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 b. Exemplifying memberikan contoh, pemberian contoh terjadi ketika siswa mampu memberikan contoh spesifik atau contoh dari konsep umum atau prinsip. Exemplifying meliputi menemukan ciri-ciri dari konsep umum atau prinsip, dan menggunakan ciri-ciri tersebut untuk memilih atau mengkonstruksi contoh lebih spesifik. Nama lainnya adalah ilustrating dan instantiating. c. Classifying mengklasifikasi terjadi ketika siswa mengenal bahwa sesuatu contoh atau kejadian tertentu termasuk kategori tertentu misal konsep atau prinsip. Mengklasifikasi meliputi penemuan ciri-ciri atau pola-pola yang relevan, yang cocok dengan contoh spesifik dan konsep atau prinsip. Nama lainnya categorizing dan subsuming. d. Summarizing merangkum terjadi ketika siswa mampu mengusulkan pernyataan tunggal yang merepresentasikan penyajian informasi atau rangkuman dari tema umum. Merangkum meliputi konstruksi suatu representasi informasi, membuat suatu rangkuman, seperti menentukan tema atau topik utama. Nama lainnya adalah generalizing dan abstracting. e. Inferring menyimpulkan meliputi penemuan pola dalam rangkaian contoh-contoh atau kejadian-kejadian. Menyimpulkan terjadi ketika siswa mampu meringkas konsep atau prinsip yang terdiri atas suatu rangkaian contoh-contoh atau kejadian-kejadian melalui pengkodean ciri-ciri yang relevan dari masing-masing kejadian. Nama lainnya adalah extrapolating, interpolating, predicting, dan concluding. f. Comparing membandingkan terjadi ketika siswa menemukan persamaan dan perbedaan antara dua atau lebih objek/benda, peristiwa, masalah, atau situasi. Nama lainnya adalah contrasting, matching, dan mapping. Misalnya membandingkan bahwa dua buah masalah bisa diselesaikan dengan konsep yang sama. Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 42 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 g. Explaining menjelaskan terjadi ketika siswa mampu membangun dan menggunakan model sebab akibat dari suatu sistem. Model dapat diturunkan dari teori formal, atau bisa didasarkan pada riset atau pengalaman. Polya membedakan empat jenis pemahaman yaitu Kurniasi, 2016 a. Pemahaman mekanis yang meliputi mampu mengingat dan menerapkan suatu secara rutin atau melakukan perhitungan sederhana. b. Pemahaman induktif yaitu dapat mencobakan sesuatu dalam kasus sederhana dan tahu bahwa sesuatu itu berlaku untuk kasus yang serupa. c. Pemahaman rasional yaitu dapat membuktikan kebenaran rumus dan teorema. d. Pemahaman intuitif mencakup dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa ragu-ragu, sebelum menganalisa secara analitik. Ausubel, menjelaskan bahwa pengetahuan baru yang dipelajari bergantung kepada pengetahuan yang telah dimiliki seseorang. Dengan demikian menurut Hudojo, dalam belajar hukum pen. apabila konsep A dan B mendasari konsep C, maka konsep C tidak mungkin dapat dipelajari sebelum memahami konsep A dan B terlebih dahulu Hudojo, 1988; Sinaga, 2010. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kesulitan menerapkan aturan hukum dengan penuh kesadaran yang terjadi di jenjang pendidikan SMA sangat bergantung dari keberhasilan pendidikan hukum dalam pendidikan hukum di jenjang pendidikan sebelumnya yaitu SMP. Pesan Hudojo tersebut juga menujukan pesan bahwa pendidikan hukum harus dilakukan secara berkelanjutan, artinya ketika pada kegiatan pertemuan pertama pendidikan hukum dengan peserta didik yang sama tidak bisa disampaikan materi pendidikan hukum C jika belum diberikan pemahaman terlebih dahulu terhadap materi pendidikan hukum A dan B. Pendidikan hukum dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada siswa. Dari pemahaman itu harapannya siswa mampu untuk menyelesaikan Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 43 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 masalah yang akan siswa hadapi dalam kehidupan sehari-hari dalam koridor hukum, karena pemahaman terhadap sesuatu pada akhirnya dalam kehidupan nyata akan digunakan untuk menyelesaikan atau pemecahan masalah. Langkah pemecahan masalah dijelaskan oleh Polya bahwa terdapat empat langkah dalam pemecahan masalah yaitu Siswono, 2008, 2010 a. Memahami masalah b. Merencanakan pemecahan masalah. c. Menyelesaikan masalah sesuai dengan yang direncanakan d. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh. Kemampuan memecahkan masalah terletak pada ide penyusunan rencana pemecahan masalah dimana pada tahap tersebut dituntut kemampuan kreatifitas daya temu dan pengertian yang mendalam terhadap masalah yang dihadapinya. Pemecahan masalah adalah suatu upaya/usaha yang dilakukan oleh siswa untuk menyelesaikan/memecahkan masalah yang diberikan dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang sudah dimilikinya Soenarjadi, 2012. Melakukan pemecahan masalah akan berbeda-beda cara memecahkan masalah bagi setiap orang hal ini dipengaruhi faktor gender. Ini artinya dalam melakukan pendidikan hukum faktor gender harus diperhatikan. Perbedaan jenis kelamin mempunyai peran dalam mempengaruhi kemampuan dasar memahami hukum. Menurut Fazlurrachman istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan Fazlurrachman, 2008. Pembedaan ini sangat penting karena selama ini seringkali mencampuradukkan ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah, dengan ciri manusia yang bersifat nonkodrati yang sebenarnya dapat berubah atau diubah. Dengan kata lain masyarakat tidak membedakan yang mana sebetulnya jenis kelamin kodrat dan yang mana gender Purwanti, 2013. Nunuy Nurjanah menjelaskan bahwa Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 44 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 gender bukan hanya bicara tentang jenis kelamin laki-laki & perempuan dan segala perbedaannya. Gender juga bicara penyifatan, harapan labelling yang ada dalam masyarakat terkait dengan peran, posisi, fungsi, dan potensi yang dimiliki masing-masing jenis kelamin tersebut Nurjanah, Pendidikan hukum juga perlu mempertimbangkan aspek perkembangan intelektual, sebagai tahapan pembelajaran. Teori perkembangan intelektual Piaget, berpendapat bahwa proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkret ke abstrak berurutan melalui empat periode. Urutan periode itu tetap bagi setiap orang, namun usia atau kronologis pada setiap orang yang memasuki setiap periode berpikir yang lebih tinggi berbeda-beda tergantung kepada masing-masing individu, sebagai berikut Suparno, 2001 a. Periode Sensori Motor 0–2 tahun. Periode dimana gerakan-gerakan sebagai akibat reaksi langsung dari rangsangan. Rangsangan timbul karena melihat dan meraba objek. b. Periode Pra-operasional 2–7 tahun. Periode dimana suatu proses berpikir atau logik, dan merupakan aktivitas mental, bukan aktivitas sensori motor. Di sini dalam berpikir tidak didasarkan kepada keputusan yang logis melainkan didasarkan kepada keputusan yang dapat dilihat seketika. Merupakan periode pemberian simbol, misalnya suatu benda diberi nama simbolsimbol. Pada periode ini anak terpaku kepada kontak langsung dengan lingkungannya, tetapi anak mulai memanipulasi simbol dari benda-benda sekitarnya. Walaupun pada periode anak masih sulit melihat hubungan-hubungan dan mengambil kesimpulan secara taat asas. c. Periode operasi kongkret 7–12 tahun. Periode berpikir sudah dikatakan menjadi operasional. Pada periode ini berpikir logiknya didasarkan atas manipulasi fisik dari objek-objek. Pada periode ini ditunjukan kenyataan adanya hubungan dengan pengalaman empirik-kongkret yang lampau dan Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 45 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 masih mendapat kesulitan dalam mengambil kesimpulan yang logis dari pengalaman-pengamanan yang khusus. Pengerjaan-pengerjaaan logika dapat dilakukan dengan berorientasi ke objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang langsung dialami anak. Pada periode ini anak belum memperhitungkan semua kemungkinan dan kemudian mencoba menemukan kemungkinan yang mana yang akan terjadi. Dalam periode ini anak terikat kepada pengalaman pribadi. Pengalaman anak masih kongkret dan belum formal. Di sini karateristik berpikir anak adalah kombinasivitas atau klasifikasi adalah suatu operasi dua kelas atau lebih yang dikombinasikan ke dalam suatu kelas yang lebih besar. Anak dapat membentuk variasi relasi kelas dan mengerti bahwa beberapa kelas dapat dimasukkan ke kelas lain. d. Periode Operasi Formal >12 tahun. Periode ini merupakan tahap terakhir dari keempat periode perkembangan intelektual. Periode operasi formal ini disebut juga disebut periode operasi hipotetik-deduktif yang merupakan tahap tertinggi dari perkembangan intelektual. Anak-anak pada periode ini sudah memberikan alasan dengan menggunakan lebih banyak simbol atau gagasan dalam cara berpikir. Anak sudah dapat mengoperasikan argumen-argumen tanpa dikaitkan dengan benda-benda empirik. Anak mampu menggunakan prosedur seorang ilmuwan, yaitu menggunakan posedur hipotetik-deduktif. Anak mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik dan kompleks dari pada anak yang masih dalam tahap periode operasi kongkret. Konsep konservasi telah tercapai sepenuhnya. Anak sudah mampu menggunakan hubungan-hubungan di antara objek-objek apabila ternyata manipulasi objek-objek tidak memungkinkan. Anak telah mampu melihat hubungan-hubungan abstrak dan menggunakan proposisi-proposisi logik-formal termasuk aksioma dan definisi-definisi verbal. Anak juga sudah dapat berpikir kombinatorik, artinya bila anak dihadapkan kepada suatu masalah, anak dapat mengisolasi faktor-faktor tersendiri atau Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 46 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 mengkombinasikan faktor-faktor itu sehingga menuju penyelesaian masalah tadi. Berdasarkan pembagian periode berpikir tersebut, pendidikan hukum wajib memperhatikan periode berpikir ini, karena berdasarkan pembagian ini bisa ditentukan metode yang tepat yang akan digunakan dalam penidikan hukum. Pendidikan hukum juga harus memperhatikan faktor persentase kemampuan belajar manusia, karena persentase kemampuan belajar manusia akan mengalami penurunan seiring dengan semakin tua Suparno, 2001. Melaksanakan pendidikan hukum juga perlu untuk memperhatikan temuan-temuan di luar bidang hukum, yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kesadaran hukum seseorang. Misalnya tentang otak kanan dan kiri. Dijelaskan oleh Arman Andi Amirullah bahwa ketika manusia tidak mengetahui rahasia otak kanannya, bisa dipastikan dirinya bukanlah orang kreatif, kurang peduli, kurang inovasi, kurang kreasi, tidak sungguh-sungguh, dan kurang ikhlas. Otak kanan yang tidak pernah diasah, bisa mengakibatkan seseorang kehabisan ide, kurang rasa ingin tahunya, kurang disiplin, kurang tanggungjawab, kurang menghargai orang lain, kurang menghargai keindahan, kurang menghargai kekuatan hati, kekuatan cinta dan sebagainya. Kemampuan otak kanan itu memiliki kapasitas 90% dan otak kiri hanya 10-12%. Hasil penelitian mutakhir di AS menyebutkan, peran logika dalam membuat orang menjadi sukses hanya 4-6%, sedangkan 94-96% adalah tanggungjawab otak kanan yang banyak berhubungan dengan inovasi, kreativitas, naluri, intuisi, daya cipta, kejujuran, keuletan, tanggungjawab, kesungguhan, spirit, kedisiplinan, etika, empati dan lain-lain. Sedangkan tugas otak kiri adalah yang selalu berhubungan dengan angka-angka, bahasa, analisa, logika, intelektual, ilmu pengetahuan. Adapun otak kanan bertanggungjawab dalam hal imajinasi, kreativitas, seni, musik, inovasi, daya cipta, intuisi, otak bawah sadar, keikhlasan, kebahagiaan, spirit, keuletan, kejujuran, keindahan dan lain-lain. Selain diurusi oleh otak kiri maka menjadi Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 47 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 urusan otak kanan. Otak kanan memiliki kemampuan dalam hal rasa empati atau kepedulian yang tinggi. Otak kanan juga memiliki kemampuan berkolaborasi dengan hati, memiliki kemampuan daya kreatif dan seni yang tinggi. Keistimewaan otak kanan juga memiliki gelombang otak bernama gelombang alfa. Gelombang ini yang bisa merasakan keikhlasan, kebahagiaan, ketenangan, kekhusyukan, relaxi, hening, kepuasan, imajinatif dan seterusnya Desastian, 2011. Pendidikan hukum harus dilakukan secara menarik misalnya dengan memasukan permainan dengan menggunakan objek-objek konkret saat berlangsung kegiatan pendidikan hukum. Karena permainan mempunyai peranan sangat penting dalam pembelajaran jika dimanipulasi dengan baik. Menurut Andi Ika Prasasti Abrar terdapat 6 konsep permainan Abrar, 2013 a. Permainan Bebas Free Play. Permaianan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Aktivitas ini memungkinkan anak mengadakan percobaan dan mengotak-atik memanipulasi benda-benda konkret dan abstrak dan unsur-unsur yang dipelajarinya. Dalam permainan bebas anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya atau alam sekitar. Dalam tahap ini anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur sikap untuk mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep. Penggunaan alat peraga dapat membantu anak-anak dalam mempelajari konsep-konsep abstrak. b. Permainan yang Menggunakan Aturan Games. Pada tahap ini, siswa mulai mengamati pola dan keteraturan yang terdapat pada konsep. Siswa memperhatikan bahwa ada aturan tertentu yang terdapat pada konsep kejadian-kejadian. Aturan-aturan tersebut adakalanya berlaku untuk suatu konsep, namun tidak berlaku untuk konsep lain. Segera setelah siswa menemukan aturan dan sifat yang menentukan kejadian, mereka siap Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 48 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 melakukan permainan dan eksperimen dengan mengganti aturan dari pendidik menjadi aturan yang mereka buat sendiri. c. Kesamaan Sifat Searching for communalities. Dalam mencari kesamaan sifat anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menentukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, pendidik perlu mengarahkan anak dengan mentranslasikan kesamaan struktur dan bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. d. Penyajian / Representasi Representations. Penyajian adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Setelah siswa mengamati elemen-elemen bersama pada setiap contoh konsep, mereka perlu mengembangkan suatu penyajian tunggal dari konsep, yang mencakup semua elemen bersama yang terdapat pada setiap konsep. Penyajian tunggal ini dapat dilakukan dengan menggunakan diagram atau secara verbal. Penyajian konsep biasanya akan lebih abstrak daripada contoh-contoh, dan akan membawa siswa lebih memahami struktur yang abstrak. e. Simbolisasi Symbolizations. Pada tahap ini, siswa menghasilkan simbol-simbol yang cocok untuk menyatakan konsep. Adalah hal yang sangat baik, jika siswa dapat menghasilkan simbol versi sendiri dari setiap konsep. f. Formalisasi Formalizations. Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur, harus mampu merumuskan teori dalam arti membuktikan teori tersebut. Pendidikan hukum juga harus memperhatikan gaya belajar dari masing-masing siswa, maka dari itu pendidikan hukum sebaiknya diawali dengan sebuah observasi untuk sebuah hasil yang maksimal. Data menunjukan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan struktur otak, hal ini berakibat pada perbedaan Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 49 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 keduanya dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, cara berkomunikasi, termasuk gaya belajar sebagaimana dikemukakan oleh Gatot Soenarjadi ada 3 gaya belajar berdasarkan modalitas sensori yaitu Soenarjadi, 2012 a. Gaya belajar visual adalah gaya belajar yang lebih banyak memanfaatkan penglihatan sebagai alat belajar yang optimal. b. Gaya belajar auditory adalah gaya belajar yang lebih banyak memanfaatkan pendengaran sebagai alat belajar yang optimal. c. Gaya belajar kinestetik adalah gaya belajar yang lebih banyak memanfaatkan fisik sebagai alat belajar yang optimal. Gaya belajar setiap individu merupakan keunikan yang dimiliki oleh seseorang untuk memudahkan dirinya belajar. Ketiga cara menggunakan media tersebut dikenal sebagai gaya belajar V-A-K visualauditory-kinestetik. Berikut adalah beberapa gambaran ciri-ciri individu dengan gaya belajarnya adalah sebagai berikut Soenarjadi, 2012 a. Seseorang dengan Gaya belajar visual mempunyai ciri-ciri antara lain 1 Lebih mengingat apa yang dilihat daripada yang didengar 2 Biasanya tidak terganggu dengan keributan 3 Lebih suka membaca daripada dibacakan b. Seseorang dengan Gaya belajar auditory mempunyai ciri-ciri antara lain 1 Senang membaca dengan keras dan mendengarkan 2 Lebih senang belajar dengan mendengarkan dan lebih mengingat apa yang didiskusikan dari pada apa yang dilihat c. Seseorang dengan Gaya belajar kinestetik mempunyai ciri-ciri antara lain 1 Menanggapi perhatian fisik 2 Selalu berorientasi dengan fisik dan banyak bergerak 3 Belajar melalui memanipulasi dan praktik 4 Tidak dapat duduk diam untuk waktu yang lama e Menyukai permainan yang menyibukan. Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 50 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 Selain hal-hal di atas, pendidikan hukum juga harus memperhatikan aspek konsentrasi dalam pelaksanaannya. Karena konsentrasi yang baik merupakan salah satu faktor yang dipercaya dapat membawa keberhasilan anak didik dalam mencapai tujuan pembelajaaran dalam pendidikan hukum. Dengan berkonsentrasi, maka segala hal dapat terekam sebaik-baiknya di dalam memori otak dan selanjutnya dengan mudah dapat dikeluarkan pada saat-saat dibutuhkan. Menurut Sugiyanto konsentrasi adalah kemampuan memusatkan pemikiran atau kemampuan mental dalam penyortiran informasi yang tidak diperlukan dan memusatkan perhatian hanya pada informasi yang dibutuhkan. Terkait konsentrasi ada beberapa cara untuk meningkatkan konsentrasi, yaitu Nuryana & Purwanto, 2010 a. Memberikan kerangka waktu yang jelas agar anak mengetahui dengan pasti berapa lama harus menyelesaikan. b. Mencegah anak agar tidak terlalu cepat berganti dari satu tugas ke tugas lain dengan cara membatasi pilihan. c. Mengurangi jumlah gangguan dalam ruangan. d. Memberikan umpan balik dengan segera untuk memotivasi anak tetap bekerja atau mengarahkan kembali perhatiannya pada tugas yang sedang dikerjakan. e. Merencanakan tugas yang lebih kecil daripada memberikan satu sesi yang panjang. f. Menetapkan tujuan dan menawarkan hadiah untuk memotivasinya agar terus bekerja. Veenstra mengatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi belajar antara lain Nuryana & Purwanto, 2010 a. Faktor Usia. Kemampuan untuk konsentrasi ini ikut tumbuh dan berkembang sesuai dengan usia individu. Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 51 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 b. Fisik. Kondisi sistem saraf neurogical system mempengaruhi kemampuan individu dalam menyeleksi sejumlah informasi dalam kegiatan perhatian. Individu memiliki kemampuan saraf otak yang berbeda dalam menyeleksi sejumlah informasi yang ada sehingga turut mempengaruhi kemampuan individu dalam memusatkan perhatian. c. Faktor pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan dan pengalaman turut berperan dalam usaha memusatkan perhatian pada objek yang belum bisa dikenali polanya sehingga pengetahuan dan pengalamn individu dapat memudahkan untuk berkonsentrasi. Selain faktor-faktor di atas ada juga faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi konsentrasi belajar antara lain suara, pencahayaan, temperatur, dan desain belajar Nuryana & Purwanto, 2010. Terkait konsetrasi memasukan Brain Gym dalam kegiatan pendidikan hukum dapat dapat membantu meningkatkan konsentrasi dengan mengkordinasikan gerakan mata, tangan dan tubuh. Gerakan Brain Gym adalah suatu usaha alternatif alami yang sehat untuk menghadapi ketegangan dan tantangan pada diri sendiri dan orang lain Nuryana & Purwanto, 2010. Selain hal-hal di atas, berdasarkan hasil observasi, wawancara dan kuisioner, diketahui bahwa siswa sangat memperhatikan figur tertentu dalam sebuah kegiatan pendidikan hukum. Di sini faktor usia dan performa sangat menentukan pelaksanaan kegiatan pendidikan hukum, Dari pertanyaan yang diajukan terkait range usia dan performa pendidik dalam sebuah kegiatan pendidikan hukum, mayoritas siswa menjawab range usia yang tidak terlalu jauh dengan usia siswa serta performa yang baik sangat mempengaruhi suksesnya sebuah pendidikan hukum hukum. Uji coba pendidikan hukum kepada siswa siswi sekolah menengah atas dengan mendatangkan pendidik yang merupakan mahasiswa menunjukan respon yang sangat baik. Siswa siswi umumnya sangat menyimak ketika pendidik yang ditampilkan berasal dari range usia yang tidak terlalu jauh dengan siswa siswi. Seluruh hal-hal di atas sebagaimana telah dikemukakan akan sangat Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 52 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 bermanfaat dalam menentukan model, pola atau metode pendidikan hukum yang tepat yang akan digunakan. Pemilihan model, pola atau metode yang akan digunakan dalam pendidikan hukum akan mempengaruhi sukses tidaknya tujuan yang akan dicapai dari sebuah pendidikan hukum. Hukum dan bidang ilmu lain dapat berkolaborasi bahkan merupakan sebuah hubungan yang simbiosis mutualisme. Mengadopsi temuan-temuan dalam bidang ilmu lain di luar bidang hukum untuk digunakan dalam bidang hukum akan memaksimalkan pencapaian tujuan dari pendidikan hukum tersebut, karena di sini seluruh tentang peserta pendidikan hukum dipertimbangkan atau diperhatikan dengan baik. Beberapa diantara model, pola atau metode yang telah disampaikan di atas, telah diterapkan oleh Fakultas Hukum melalui Clinical Legal Education CLE dalam melakukan pendidikan hukum ke beberapa sekolah diantaranya pendidikan hukum di SMAN 27 Bandung dan SMAN 1 Dayeuhkolot. IV. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Pendidikan hukum adalah metode yang paling rasional untuk membentuk kesadaran hukum siswa. Model, pola atau metode pendidikan hukum yang ada dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini tentang penyuluhan hukum yang nota bene juga merupakan bentuk pendidikan hukum belum secara terperinci memberikan panduan perihal model, pola atau metode pendidikan hukum yang mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi anak dalam mewujudkan siswa sadar hukum. Mengacu pada pendekatan hukum, filsafat, psikologis, dan pendidikan maka model, pola atau metode pendidikan hukum yang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dalam mewujudkan siswa sadar hukum harus merupakan sebuah konstruksi model, pola atau metode pendidikan hukum yang simple, smart, standard, safe, real, quick, practical, effective, imajinative Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 53 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 fun, award, problem solving oriented dan berperspektikan gender. Semakin sering dan semakin luasnya jangkauan kegiatan pendidikan hukum dan dikerjakan oleh para komunikator profesional, disertai kualitas teknik berkomunikasi yang semakin canggih, maka pendidikan hukum akan lebih berdampak positif dan besar artinya untuk terbentuknya kesadaran hukum siswa. B. Saran Negara Republik Indonesia memang telah memiliki peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bagi perlindungan anak dan memberikan dasar bagi sebuah pendidikan hukum, tetapi aturan hukum yang ada, sering dibaca secara parsial, sehingga dapat diketahui berdampak pada pelaksanaan pendidikan hukum, sehingga sebaiknya aturan hukum yang ada dalam penerapannya selalu dilihat secara komprehensif dan sistematis antara satu dengan yang lainnya, tanpa melupakan beberapa pertimbangan yang berada pada ranah non hukum yaitu misalnya aspek psikologis dan pendidikan. Setiap pelaksanaan pendidikan hukum sebaiknya selalu diawali dengan melakukan kajian terhadap audiens yang akan menjadi peserta pendidikan hukum agar sebuah pendidikan hukum menjadi sebuah pendidikan yang terencana terarah terukur dan bermanfaat. Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 54 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 DAFTAR PUSTAKA Abrar, A. I. P. 2013. Belajar Dienes. Jurnal Pendidikan Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Al KHWARIZMI, 1, No. 1Maret, 23–32. Retrieved from Arief, B. N. 2007. Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia Pidato Pengukuhan Guru Besar pada 25 Juni 1994. Semarang Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Danim, S. 2010. Pengantar Kependidikan. Bandung Alfabeta. Desastian, D. 2011. Mengungkap Rahasia Dahsyatnya Otak Kanan Manusia. Retrieved from Fazlurrachman, H. 2008. Haris Fazlurrachman, 2008. Monograf Bahan Ajar Gender. http//curhatpendidikan. 6-1-2009. Retrieved October 22, 2013, from website Fiksi Hukum Harus Didukung Sosialisasi Hukum Penyuluhan hukum kepada masyarakat merupakan tanggung jawab setiap penyelenggara negara. 2008. Retrieved January 6, 2017, from website Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta Depdikbud. Husni, M. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Upaya Penegakan Hukum. Jurnal Equality, 11, No. 2Agustus, 86–93. Retrieved from 4.pdf?sequence=1 Ishaq, I. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta Sinar Grafika. Kurniasi, E. R. 2016. Profil Pemahaman Matematis Mahasiswa Pendidikan Matematika Ditinjau Dari Jenis Kelamin. Jurnal Prima, V, No. IIJuli, 1–7. Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 55 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 Kusumaatmadja, M. 2006. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Bandung Alumni. Mertokusumo, S. 2008. Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat. Nurjanah, N. Fakta Kurikulum Berbasis Gender. Retrieved from Nuryana, A., & Purwanto, S. 2010. Efektivitas Brain Gym Dalam Meningkatkan Konsentrasi Belajar Pada Anak. Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi Indigenous, 12, No. 1Mei, 88–99. Purwaningsih, E., Riza, N. U. A., & Chikmawati, N. F. 2014. Kesadaran Hukum Terhadap Kepemilikan Merek Terdaftar Pada Pengrajin Batik Pekalongan Jawa Tengah. Jurnal Hukum ADIL, 5, No. 2, 180–198. Retrieved from Purwanti, K. L. 2013. Perbedaan Gender Terhadap Kemampuan Berhitung Matematika Menggunakan Otak Kanan Pada Siswa Kelas I. Jurnal Sudi Gender SAWWA, 9, No. 1Oktober, 107–122. Retrieved from Rahardjo, S. 2006. Ilmu Hukum. Bandung Citra Aditya Bakti. Rahardjo, S. 2007. Membedah Hukum Progresif. Jakarta Kompas. Rasjidi, L. 2012. Dasar-DasarFilsafat dan Teori Hukum. Bandung Citra Aditya. Sinaga, B. 2010. PENGEMBANGAN ASESMEN PORTOFOLIO MATEMATIKA DALAM SETING PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERDASARKAN MASALAH BERBASIS BUDAYA BATAK DI SMA. Jurnal Studi Islam Dan Humaniora KHAZANAH, 8, No. 1. Siswono, T. Y. E. 2008. Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif. Surabaya Unessa university press. Litigasi, Vol. 20 1 April, 2019, DOI 56 Available online at Copyright © 2019, LITIGASI, p-ISSN 0853-7100; e-ISSN 2442-2274 Siswono, T. Y. E. 2010. Penelitian Pendidikan Matematika. Surabaya Unessa university press. Soekanto, S. 1986. Beberapa Cara dan Mekanisme Dalam Penyuluhan Hukum. Jakarta Pradnya Paramita. Soekanto, S., & Mamudji, S. 2018. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat 8th ed.. Jakarta Raja Grafindo Persada. Soenarjadi, G. 2012. Profil Pemecahan Masalah Geometri Ditinjau Dari Perbedaan Gaya Belajar Dan Perbedaan Gender E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya; Volume 3,. E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya, 3, 1–8. Retrieved from Soepomo. 2007. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta Pradnya Paramita. Sukardjo, M., & Komarudin, U. 2012. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya. Jakarta Rajawali Pers. Suparno, P. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Piaget. Yogyakarta Kanisius. Tirtarahardja, U., & Sulo, S. L. La. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta Rineka Cipta. Wardani, I. G. K., & Julaeha, S. 2008. Teori Perkembangan, dalam Kapita Selekta Kependidikan SD. Jakarta Universitas Terbuka. Wignjosoebroto, S. 2008. Hukum dalam Masyarakat Perkembangan dan Masalah. Malang Bayumedia Publishing. ... Student reasoning, senses, conscience, instinct, intuition, and imagination will be improved during the learning process and become a solid foundation when needed in the workplace. Such an intact personality based on the noble values of Pancasila will make resilience in the face of temptations of corruption Batubara & Arifin, 2020. ...Saim Aksinudin Subelo WiyonoAyu Fitria NariswariCorruption is a serious problem that needs to be resolved. Many of Indonesia's assets are lost due to corruption. Many state officials were arrested because of it, and new corruption cases kept on rising. Anti-corruption education for college students has become one of the assisting measures in the anti-corruption strategy. Some studies suggest that prevention through education is the most important step to eradicate corruption. This study aimed to examine the role of Civic Education CE as an anti-corruption education for students. This study used a qualitative method. Data were collected through literature study, in-depth interviews, and observation. The collected data were then analyzed using Miles Huberman’s interactive model which consists of data collection, data verification, data analysis, and conclusion drawing. The results of this study show that Civic Education plays a vital role in anti-corruption education for students. In the context of higher education, this course may serve as anti-corruption education. Anti-corruption values should be delivered during the CE learning process. Anti-corruption values consist of honesty, discipline, and compliance. The results of this study can be a reference for policymakers in the field of corruption prevention.... The essence of this idea is that law is not made by humans, but grows, lives and develops in the soul of the nation or das recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke based on the assumption that every nation in the world has a volkgeist soul of the nation [4]. Terminologically, volksgeist has the same meaning as the word volksseele, nationalgeist, geist der nation, volkscharakter or in English it is called national character which literally means the soul or spirit of the nation [17]. Meanwhile, according to Herder, volksgeist is defined as a manifestation of the spirit of the community and at the same time being the spirit or soul of a nation. ...Legal education as a body of knowlagde of civic education plays an important role in community development. This is because the law forms habits in the community. In the new normal era, the development of legal awareness is carried out online/blended learning. The reason is the situation and condition of the Covid-19 pandemic. However, the implementation of education must still be implemented. Likewise with legal education in developing legal awareness. This is because considering the importance of building legal awareness which is the basis for the purpose of the presence of law in society. The orientation is to create a harmonious life so that each individual can live in an orderly and peaceful manner. In developing legal awareness in the new normal era, a procedure is needed that is designed as a guide in legal education for the development of legal awareness. The legal covariance model is a learning model designed to develop legal awareness, because it is designed to make Pancasila the basis for public legal awareness based on the nature of Pancasila as a volkgeist. This model has five, namely problem orientation, organizing learning situations, monitoring progress, presenting results and discussions, and evaluation. Through these stages, this model acts as a legal learning guide with the aim of building legal awareness, and the placement of Pancasila as a volkgeist oriented as a preventive instrument in the context of ethics and morals to encourage the process of building legal awareness by exploring living law. Keywords Civic Education, Legal Covariance Model, Legal Education, KarmujiGangga ListiawanAhmad Fahmi KhusainiMuhammad Alwi SihabLiteracy is a necessity for all Indonesian people, because this is a basic need in honing skills in critical thinking, especially literacy in the field of law. We need to know that the Indonesian state is a legal state where all aspects of life are regulated by law, this makes it a separate obligation for all citizens to be aware of the law. our actions or behavior in this state must be in accordance with the corridors set by the law itself, and we all know that many of our people are still blind to the law and how massively they use violence as a way out in solving problems. Legal awareness literacy assistance for students in the Sunan Muria dormitory at the Sunan Drajat Islamic Boarding School Lamongan is the best step in increasing human resources who have legal awareness themselves, how do we cadre young students who will later become influencers for the community who incidentally lack of awareness of the law. This legal literacy assistance is through the presentation of material with an interactive dialogue system so that students can be more optimal in capturing and understanding the material HusniCommunity law consciousness are influenced by social structure where the law exist to receive the law order in community law conscionsness the social structure should be arranged. To build the community law conscionsness the community inspiration in law should be developed according to Indonesian principles. On the other hand we also need supporting factor, like, good legal enforcers, facilities, legal culture and society as a key role actor. If all those factors above adjusted, we are sure that the society vision on legal enforcement could be DanimDanim, S. 2010. Pengantar Kependidikan. Bandung Rahasia Dahsyatnya Otak Kanan ManusiaD DesastianDesastian, D. 2011. Mengungkap Rahasia Dahsyatnya Otak Kanan Manusia. Retrieved from Bahan Ajar GenderH FazlurrachmanFazlurrachman, H. 2008. Haris Fazlurrachman, 2008. Monograf Bahan Ajar Gender. http//curhatpendidikan. 6-1-2009. Retrieved October 22, 2013, from website Pemahaman Matematis Mahasiswa Pendidikan Matematika Ditinjau Dari Jenis KelaminE R KurniasiKurniasi, E. R. 2016. Profil Pemahaman Matematis Mahasiswa Pendidikan Matematika Ditinjau Dari Jenis Kelamin. Jurnal Prima, V, No. IIJuli, Kurikulum Berbasis GenderN NurjanahNurjanah, N. Fakta Kurikulum Berbasis Gender. Retrieved from 6707101991022-NUNUY_NURJANAH/ Brain Gym Dalam Meningkatkan Konsentrasi Belajar Pada AnakA NuryanaS PurwantoNuryana, A., & Purwanto, S. 2010. Efektivitas Brain Gym Dalam Meningkatkan Konsentrasi Belajar Pada Anak. Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi Indigenous, 12, No. 1Mei, Hukum Terhadap Kepemilikan Merek Terdaftar Pada Pengrajin Batik Pekalongan Jawa TengahE PurwaningsihN U A RizaN F ChikmawatiPurwaningsih, E., Riza, N. U. A., & Chikmawati, N. F. 2014. Kesadaran Hukum Terhadap Kepemilikan Merek Terdaftar Pada Pengrajin Batik Pekalongan Jawa Tengah. Jurnal Hukum ADIL, 5, No. 2, 180-198. Retrieved from Gender Terhadap Kemampuan Berhitung Matematika Menggunakan Otak Kanan Pada Siswa Kelas IK L PurwantiPurwanti, K. L. 2013. Perbedaan Gender Terhadap Kemampuan Berhitung Matematika Menggunakan Otak Kanan Pada Siswa Kelas I. Jurnal Sudi Gender SAWWA, 9, No. 1Oktober, 107-122. Retrieved from dan Teori HukumL RasjidiRasjidi, L. 2012. Dasar-DasarFilsafat dan Teori Hukum. Bandung Citra Aditya.
. 277 174 364 422 483 12 256 89
salah satu sikap menjunjung tinggi norma hukum adalah